Suatu Malam di Sudut Mushalla
esoftHMD469x Buletin-khidmah Cerpen
Ayu Afandi*
Dari balik jemuran ini, kuperhatikan gadis itu. Sosok yang begitu manis dan santun. Wajahnya selalu berseri. Mulutnya yang komat-kamit seolah tak ada keluh terpendam. Keriangan yang terpancar di matanya begitu bertolak belakang dari sisi buruk yang selama ini disematkan padanya. Si Ratu Denda. Begitu temana-teman menjulukinya.
Apa yang salah!? Hatiku selalu bertanya. Hampir setiap pekan dia tak pernah absen berjejer di antara teman-temannya yang lain, yang juga kena sangsi bila melanggar aturan pesantren. Tak dapat kumengerti mengapa dia selalu mendapat hukuman, cemoohan, dan sindiran teman-teman. Dan itu semua tak tak membuatnya jera. Sepertinya dia tak pernah peduli ada banyak pasang mata yang mengutuk tingkahnya. Mengecamnya. Bahkan, tak sedikit yang membencinya.
“ Melamun?!” Ravita, pengurus bidang kebersihan menyentuh pundakku. Aku kaget.
“Aku capek, Vita. Sulit ku mengerti,” ucapku lirih sembari bergeser memberinya tempat untuk duduk.
“ Lihat…! Alangkah tidak layaknya dia berada di situ. Begitu lugunya..” Aku menunjul pada Safina yang masih berdiri di tengah halaman dengan al-Quran di tangannya.
“ Kena sangsi lagi dia?! Tak bosan-bosannya,” Rutuk Ravita setengah mengecamnya.
“ Ya, begitulah! Padahal dia pendiam. Tak banyak tingkah. Sopan. Cuma, masalahnya dia sering terlambat berjemaah shalat Subuh. Kadang lima sampai enam kali.”
“Bukan hanya itu Nai! Tiap kali berjemaah shalat Isyak dia selalu meningglkan saf makmum sebelum selesai wiridan. Hatiku terusik juga karena ulahnya. Menyebalkan!”
Aku hanya tersenyum. Entah mengapa ada rasa ingin tahu yang begitu besar kenapa dia bisa begitu. Kulihat Safina mengusap wajahnya sembari mencium al-Quran di tangannya. Pertanda sangsinya telah selesai. Langkahnya gontai meninggalkan area halaman pondok. Leat di depan kami dia merunduk hormat.
“Dasar srigala berbulu domba! Sok alim! Penebar virus! Memuakkan!”
Sindir Ravita dengan suara agak keras. Aku tersentak kaget. Tak dapat kubayangkan bagaimana perasaan Safina bila ucapan Ravita terdengar olehnya.
“ Vita! Jaga ucapanmu!” Nadaku sedikit membentak.
“Wah, tumben kamu simpati padanya. Pakai melotot segala lagi! Kan, kamu yang mengekskusi dia. Kalau kamu iba, mestinya kau memberinya sanksi. Kamu kan pengambil kebijkan. Sok perasa!”
“ Tapi, Vit, aku hanya menjalankan tugas. Aku hanya ingin menjaga image kita. Kalau ada yang dengar omongan kamu, apa kata mereka? Yang sabar, lah! Kita harus jadi panutan yang baik! Ki..”
“Alah, sok menggurui kamu! Mentang-mentang jadi keamanan,” sela Ravita sebelum aku selesai bicara., lalu pergi dengan wajah memendam amarah. Aku berusaha mengejarnya untuk meminta maaf. Tapi rupanya, dia begitu kecewa padaku.
Setelah kejadian itu ada kesenjangan antara aku dan Ravita. Perbedaan yang tak semestinya terjadi. Aku juga semakin terperangkap dalam lingkaran konflik tak terjawab mengenai Safina.
Malam telah larut ketika aku tiba di samping mushalla pondok. Dengan hati-hati kuikuti langkah kaki Safina. Baru kali ini aku berhasil setelah enam malam aku kehilangan jejaknya. Rasa ingin tahu dan penasaranlah yang mendorongku mencari tahu kenapa dia selalu terlambat berjemaah shalat Subuh dan buru-buru bangun sebelum imam selesai dzikir shalat Isyak? Juga mengingat tanggung jawabku sebagai keamanan. Setahuku Safina bukanlah gadis yang terbilang bodoh dan nakal.
Kuhela nafas dalam-dalam untuk menenteramkan rasa galau di hatiku. Lama aku berdiri di samping mushalla. Kadang mengendap, kadang mendongak seperti penyusup. Tak ada suara. Gelap yang mengurungku mulai menciptakan nuansa ngeri. Juga dingin yang menyiksa. Apa yang ingin dilakukan gadis itu di tempat sesunyi ini? Aku beranjak menuju undakan mushalla dan mengamankan diri di balik pintu.
Sungguh aku terpana! Dalam kegelapan, di sudut mushalla ku lihat cahaya kecil menyala dengan terangnya. Cahaya yang terpendar dari sebatang lilin. Aneh! Padahal listrik di mushalla bisa saja dinyalakan. Masih dalam kebingungan, kulihat Safina berdiri terpekur dalam diam menghadap kiblat. Betapa anggunnya! Rakaat demi rakaat dilewatinya dengan khusyuk. Tanpa beban. Aku teramat takjub dibuatnya. Kalimat-kalimat tasbih yang mengalir dari bibirnya samar menyentuh telingaku. Demikian syahdu. Gadis 14 tahun yang baru enam bulan di pesantren ini begitu ikhlas dalam munajat. Sementara, butiran bening yang meruah dari kelopak matanya tak ubahnya untaian sempurna mutiara.
Aku terhenyak. Malu rasanya telah curiga padanya. Aku yang sudah begitu lama di pesantren ini membiarkan waktuku berlalu dengan percuma. Aku hanya pandai bicara, menghardik, memvonis dan dan memberi hukuman. Aku malu karena tak istiqamah seperti dia. Pada kenyataannya aku begitu kerdil dan tak ada apa-apanya.
Kini, terjawab sudah misteri di balik tingkah laku Safina. Rupanya, keterlambatannya bangun waktu subuh dikarenakan separuh malamnya dilewati dengan tafakur dan bersunyi di mushalla ini. Begitu pula ia tidak berdzikir usai berjemaah Isyak, karena ia punya waktu khusus untuk menuntaskan kerinduannya pada tuhan dengan bersendiri. Dan, satu lagi yang kukagumi darinya: ia begitu ikhlasan menerima sanksi. Sesuatu yang jarang dimiliki oleh gadis seusianya.
”Ya Allah! Begitu banyak misteri hidup yang Engkau rahasiakan di mata hamba-Mu. Begitu banyak hal yang tak kupahami. Selama ini aku teramat angkuh dan sombong dengan jabatan dan kedudukanku sebagai pengurus pondok. Merasa lebih kuat dan lebih mulia dibanding mereka yang terkena sanksi atau hukuman. Betapa aku telah menistakan diriku, ya Rabb. Tanpa kusadari aku telah hina dengan nikmat yang Kauberi. Ampuni aku, ya Rabb. Beri aku kesempatan untuk hadir dan lahir bersama mereka yang Kauberkahi, sehingga sesal yang telah memenjarankan akan dalam ketakberdayaan ini Kaujadikan cahaya meski hanya sepercik bias. Apa yang kecil dalam kuasa-Mu sungguh luas dalam harapanku.”
“Kak Naila?! Tak ingin shalat denganku?!” Bisik lirih Safina menyentak kesadaranku. Aku tergagap. Hanya mampu mengangguk dan tersenyum manis padanya. Selebihnya, aku merasa belum terbebas dari rasa kagum yang sekian menit melemahkn persendianku. Gadis kecil ini seperti sosok bidadari yang di jelmakan Tuhan untukku. Keluguannya telah membuka mataku: betepa teramat berdosa berprasangka buruk pada sesuatu yang tak jelas kepastiannya.
Pakamban laok 2o-pebruari-2013.
*penikmat fiksi, tinggal di Pakamban Laok