Pahlawan Tanpa Pengakuan Formal
Sipe412x Buletin-khidmah Figur
Meneladani Perjuangan KH. Abdullah Sajjad (Bagian III)
Â
Banyak sekali jasa-jasa almarhum KH. Abdullah Sajjad, baik bagi keluarga, pesantren, NU, maupun umat Islam pada umumnya. Namun, karena keterbatasan halaman, pada bagian terakhir ini, akan disebutkan beberapa jasa saja yang dianggap menonjol.
Â
Pembina Masyarakat
Selain istiqamah membina santri, KH. Abdullah Sajjad juga dikenal istiqamah mengajar masyarakat. Waktu untuk memberi pengajian kepada masyarakat dilakukan setiap malam Ahad. Para peserta pengajian (santri kalong/nyulok) berasal dari berbagai wilayah di Pamekasan dan Sumenep, seperti dari Penanggungan, Beragung, Dundang, Payudan, Jaddung, Moncek, Gilang, dan sebagainya. Umumnya, mereka datang dengan berjalan kaki. Sebagian naik kuda. Hanya satu orang santri colokan dari Karang Cempaka yang naik sepeda motor.
Tempat beliau mengajar itu, sekarang dikenal dengan sebutan Latee. Konon, nama Latee diambil dari nama pemilik lahan yang menghibahkan tanahnya kepada K.H. Abdullah Sajjad. Banyak anggota pengajian yang kelak menjadi kiai atau tokoh masyarakat di daerahnya masing-masing.
Â
Pejuang Birokasi
Telah disinggung pada edisi sebelumnya, KH. Abdullah Sajjad pernah terpilih menjadi kepala desa Guluk-Guluk. Kesediaan beliau menjadi kepala desa, didasarkan pada keinginan untuk menanamkan ajaran Islam kepada masyarakat melalui institusi desa; dakwah melalui jalur struktural. Jadi, selain menggunakan pendekatan kultural melalui pengajian-pengajian umum, beliau juga melakukan pendekatan struktural melalui lembaga pemerintahan. Dakwah seperti inipun sekarang diikuti oleh beberapa alumni Annuqayah.
Â
Meninggalkan Ilmu dan Keteladanan
Saat wafat secara syahid (akan dijelaskan kemudian), KH. Abdullah Sajjad tidak meninggalkan harta kekayaan kepada istri dan putra-putrinya. Bahkan, pakaian beliau yang bagus-bagus pernah dicuri maling saat beliau tinggal bersama ibu mertuanya. Meski demikian, beliau telah meninggalkan ilmu dan keteladanan yang tidak akan lekang sepanjang masa.
Â
Pahlawan dan Guru Spiritual
Sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia, khususnya di Madura, tidak akan lepas dari peran KH. Abdullah Sajjad. Melalui gemblengan beliau, lahirlah pejuang-pejuang handal yang siap mengorbankan jiwa dan raganya demi agama, nusa, dan bangsa. Bahkan beliau sendiri rela menjadi korban keganasan penjajah Belanda, demi melindungi nyawa umatnya.
Seperti halnya Jenderal Sudirman, KH. Abdullah Sajjad juga memfokuskan perjuangan pada perang gerilya. Bersama KH. Khazin Ilyas, keponakan sekaligus menantu beliau, KH. Abdullah Sajjad memimpin Laskar Sabilillah di kawasan Guluk-Guluk dan sekitarnya. Kiai Abdullah Sajjad sebagai sebagai guru spiritual dan pengatur strategi, sedangkan Kiai Khazin bertindak sebagai pimpinan pasukan.
Laskar Sabilillah adalah wadah gerilyawan Islam pada masa Perang Kemerdekaan. Laskar ini didirikan oleh guru beliau, yaitu Hadratus Syeikh KH. Hasyim Asy’ari. Selain Laskar Sabilillah, ada dua laskar lain yang juga didirikan ulama NU, yakni laskar Hisbullah yang dipimpin KH. Zainul Arifin, dan laskar Mujahidin di bawah bimbingan KH. Wahab Hasbullah.
Laskar Sabilillah di kawasan Guluk-Guluk pada awalnya dipimpin oleh KH. Moh. Ilyas. Setelah KH. Abdullah Sajjad aktif berjuang, pimpinan Sabilillah kemudian diserahkan kepada sang adik. Sebagai pimpinan, Kiai Abdullah Sajjad mengajak santri dan masyarakat untuk bergabung. Bahkan kawasan Pesantren Annuqayyah dijadikan tempat latihan perang. Para santri yang belum cukup umur atau belum siap berjuang, dianjurkan pulang untuk sementara waktu.
Ada 20-an komandan Laskar Sabilillah yang mendapat pelatihan khusus dari beliau. Selain dilatih secara fisik, ke 20 orang itu juga digembleng secara rohani. Mereka diperintahkan berpuasa selama 7 hari dan kemudian diberi azimat berupa sepotong lidi untuk diletakkan di dalam peci (songkok).
Awal Juni 1947, tentara NICA (Netherland Indian Civil Administration) datang kembali ke Nusantara membonceng Pasukan Sekutu. Kedatangan mereka bertujuan menjajah tanah air untuk kedua kalinya. Pertengahan Juni 1947, wilayah Surabaya, Malang, Pasuruan, termasuk Madura, menjadi incaran pertama pasukan penjajah.
Ketika pasukan Belanda mulai memasuki wilayah Pamekasan, KH. Abdullah Sajjad mengirim pasukan dibawah komando KH. Khazin Ilyas untuk bergabung dengan pejuang-pejuang lain yang sudah berada di Pamekasan. Sedangkan KH. Abdullah Sajjad bersiaga di perbatasan Pamekasan-Sumenep.
Pertempuran di kota Pamekasan berlangsung sengit. Para pejuang asli Madura, termasuk tentara Sabilillah binaan Kiai Sajjad, berhasil memukul mundur penjajah sampai ke daerah Branta (sekitar 3 km ke arah selatan kota Pamekasan). Gerak-maju tentara kolonial berhasil “ditunda”.
Belanda kemudian meminta tambahan pasukan. Tanggal 4 Agustus 1947, tentara tambahan mendarat di Camplong dan Branta Pesisir, dengan persenjataan lengkap termasuk membawa tank. Hal ini menyebabkan gerak-laju pasukan penjajah tidak dapat dibendung. Para pejuang dengan persenjataan seadanya, dapat dipukul mundur.
Setelah kota Pamekasan berhasil dikuasai, Belanda melanjutkan agresi ke wilayah Sumenep lewat jalur tengah, melalui Kecamatan Pakong. Melihat hal itu, KH. Abdullah Sajjad kembali mengirim pasukan ke daerah Cenlecen Pakong, di bawah komando KH. Khazin Ilyas. Para pejuang bertahan selama 7 hari, sebelum akhirnya mundur ke arah timur karena tidak mampu lagi menahan gempuran penjajah. Namun, sebelum mundur, mereka merobohkan jembatan Cenlecen dan jembatan Bekiong, guna memperlambat laju tentara Belanda.
Bersamaan dengan itu, Kiai Khazin mengirim utusan ke Annuqayah dan meminta agar pesantren dikosongkan. Kiai Mohammad Ilyas (ayah Kiai Khazin) diminta mengungsi ke dusun Berca, daerah pedalaman Guluk-Guluk. Sedangkan Kiai Abdullah Sajjad mengungsi ke Karduluk, daerah sebelah timur Prenduan, ditemani beberapa orang santri.
Pada masa agresi Belanda, para ulama dan kiai di wilayah Pamekasan dan Sumenep memang menjadi incara penjajah. KH. Abdullah Sajjad merupakan salah seorang kiai yang paling dicari. Bahkan, Belanda pernah mengirim pasukan khusus untuk menangkap beliau. Namun, usaha itu gagal.
Di Desa Karduluk, KH. Abdullah Sajjad tinggal di kediaman sepupunya, Kiai Bahar. Kiai Bahar dikenal sebagai sosok yang kuat, pemberani, dan sakti. Kiai Bahar pernah menyarankan agar KH. Abdullah Sajjad mengungsi ke Pulau Jawa. Namun beliau tidak bersedia, karena tidak ingin meninggalkan santri dan rakyatnya. Sedangkan KH. Khazin Ilyas berkenan mengikuti saran Kiai Bahar dan mengungsi ke PP. Salafiyah Syafi’iyah Sukerejo. Pesantren ini dinyatakan sebagai Heillige Zone (zona suci) yang tidak boleh dimasuki tentara penjajah.
Setelah 4 bulan mengungsi, KH. Abdullah Sajjad pulang kembali ke Annuqayyah. Masyarakat yang mengetahui kedatangan beliau, berduyun-duyun datang ke Annuqayyah dan shalat ashar dengan diimami beliau. Saat itu suasana terlihat aman dan damai.
Namun, seusai jamaah shalat maghrib, tiba-tiba datang tentara penjajah dan meminta KH. Abdullah Sajjad datang ke Pasar Kemisan Guluk-Guluk. Para santri dan masyarakat meminta untuk ikut. Namun KH. Abdullah Sajjad menolak. Beliau mengatakan, urusan dengan pihak Belanda akan diselesaikan sendiri. KH. Abdullah Sajjad tidak ingin menjadikan santri dan masyarakat sebagai korban.
Meskipun punya firasat Belanda akan berbuat curang, namun KH. Abdullah Sajjad tidak ingkar janji. Beliau memenuhi undangan Belanda. Dan, setibanya di markas penjajah, firasat itu menjadi kenyataan; beliau ditipu dan hendak dieksekusi mati.
Sebelum eksekusi dilaksanakan, KH. Abdullah Sajjad meminta waktu untuk shalat sunnah. Permintaan beliau dituruti. Dan, di saat sedang shalat dengan khusyuk, tiga butir peluru serdadu Belanda menerjang dada beliau. Seketika itu tubuh KH. Abdullah Sajjad tersungkur dalam posisi sujud. Innaa lillaahi wa innaa ilaihi ra’jiuun. Malam itu, 20 Muharram 1368/3 September 1947, pahlawan pembela rakyat itu “pulang kembali” menghadap Sang Kekasih dengan wajah tersenyum. (Sipe)